Minggu, 01 Juni 2008

Memaknai Kata “Insya Allah


Saya punya pengalaman yang cukup unik (kalau tak mau dibilang “aneh”) beberapa jam yang lalu (dengan izin Allah saya berusaha untuk menulis apa yang menjadi hikmah hari ini, secepat yang saya bisa). Mungkin Anda juga merasakannya, ketika melihat gambar poster pada posting sebelum ini.

Saya mencantumkan kata “insya Allah”, yang berarti “jika Allah Mengizinkan”[1] setelah “Speedy” (calon sponsor GRP yang konfirmasinya baru akan diperoleh (insya Allah) besok). Apa lacur? Yang saya dapatkan adalah beberapa wajah yang menahan ekspresi tertawa. Saya berpikir dalam hati, “Ada yang salah?”.

Saya teringat sebuah ayat berikut:
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap sesuatu: “Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi, kecuali (dengan menyebut): “Insya Allah”. Dan ingatlah kepada Tuhan-Mu jika kamu lupa dan katakanlah “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini.” (Q.S Al-Kahfi 18: 24)

Mungkin telah terjadi pergeseran makna kata “insya Allah” dalam tatanan kehidupan masyarakat kita. “Insya Allah” secara salah (kaprah) digunakan untuk menandakan bahwa seseorang (atau sebuah kejadian) tak bersifat serius. Saya menemukan beberapa artikel bagus (dan terkadang cukup membuat ujung bibir kita naik) untuk dibaca mengenai ini.[2][3][4]

Dalam sebuah kuis berhadiah satu milyar, saya pernah mendengar sang pembawa acaranya berkata, “Anda yakin?”. Peserta yang sedang duduk menjawab dengan tegas, “Insya Allah”. Namun, setelah itu sang pembawa acara kembali bertanya, “Yakin atau tidak?”. Sang peserta mengerutkan dahinya selama beberapa saat, untuk kemudian menjawab dengan tenang, “insya Allah berarti yakin!”

Jelaslah bagi kita, bahwa mengucap “insya Allah”, bukanlah hal yang menunjukkan rasa pesimis. Namun, justru sebaliknya. Pengucapan “insya Allah” menyiratkan sikap optimis seseorang, komitmen yang tinggi, rasa percaya diri yang besar, sekaligus unsur tawakal terhadap putusan dan takdir Allah. Boleh jadi kita akan mati 2 menit lagi, ban kempes di tengah jalan, macet, atau sejuta halangan lain, yang tidak kuasa untuk kita ubah.

Untuk itulah, mari kita sama-sama melatih kebiasaan, untuk selalu mengucapkan insya Allah dalam makna yang sesungguhnya, dalam menyikapi setiap kejadian yang belum pasti, namun kita yakini dapat dikabulkan oleh Allah. Sepertinya sebuah kesalahan pula bila kalimat ini digunakan untuk memulai sesuatu yang sifatnya kebathilan. “Insya Allah rencana perampokan kita malam ini berhasil, Bos!” terdengar lucu, bukan?

sumber:http://www.murti.web.ugm.ac.id/2007/10/28/memaknai-kata-insya-allah/

Alat Penting Ghazwul Fikri


Realitas suguhan acara televisi di negeri ini nyaris semuanya melanggar syari'ah Islam. Begitu pendapat Abdurrahman Al-Mukaffi dalam bukunya Kategori Acara TV dan Media Cetak Haram di Indonesia. Celakanya, ummat yang mayoritas ini seolah tidak berdaya menghadapi sergapan ghazwul fikri (perang pemikiran) yang dilancarkan musuh-musuh Islam lewat 'kotak ajaib' itu.

Abdurrahman membuat 10 kategori acara televisi dan media cetak yang merupakan bagian dari strategi ghazwul fikri, dan karenanya haram ditonton oleh kaum Muslim.

1. Membius pandangan mata. Banyak disuguhkan wanita-wanita calon penghuni neraka dari kalangan artis dan pelacur. Mereka menjadikan ruang redaksi bagaikan rumah bordil yang menggelar zina mata massal.

2. Pameran aurat. Saluran televisi berlomba-lomba menyajikan artis-artis, baik dengan pakaian biasa, ketat, pakaian renang, sampai yang telanjang. Penonton diajak untuk tidak punya rasa malu, hilang iman, mengikuti panggilan nafsu, dan menghidupkan dunia mimpi.

3. Membudayakan ikhtilat. Sekumpulan laki-laki dan wanita yang bukan muhrim, biasa bergumul jadi satu tanpa batas. Tayangan semacam ini tak ubahnya membuka transaksi zina.

4. Membudayakan khalwat. Kisah-kisah percintaan bertebaran di berbagai acara.

Frekuensi suguhan kisah-kisah pacaran dan kencan makin melegitimasi budaya khalwat.

5. Membudayakan tabarruj. Banyak pelaku di layar kaca yang mempertontonkan bagian tubuhnya yang seharusnya ditutupi, untuk dinikmati para pemirsa.

6. Mengalunkan nyanyian dan musik setan. Televisi banyak menyiarkan bait syair lagu berupa mantera zina yang diiringi alunan alat musik setan.

7. Menyemarakkan zina. Sajian dari luar negeri maupun lokal yang banyak menyertakan adegan peluk, cium, dan ranjang membuktikan bahwa televisi adalah corong zina. Aksi zina yang menyeluruh, baik zina mata, telinga, hati, lidah, tangan, kaki, dan kemaluan.

8. Mempromosikan liwath (homoseksual) . Para artis dan selebritis yang mengidap penyakit homoseks dijadikan contoh gaya hidup modern dan high class. Kaum homo makin bebas berkeliaran dengan berlindung di bawah payung hak asasi manusia.

9. Menebarkan syirik. Televisi banyak mengekspos praktik pedukunan, mistik, ramalan, dan sihir yang dapat menghancurkan aqidah ummat.

10. Tenggelam dalam laghwun. Acara-acara yang tak ada manfaatnya banyak disuguhkan untuk pemirsa, misalnya gunjingan tentang kehidupan pribadi selebriti dan humor berlebihan, sehingga lupa mengerjakan hal-hal yang justru penting seperti dzikir kepada Allah Subhaanahu wa ta'ala.